Di sekolah ada satu mata pelajaran tentang hukum-hukum yang berlaku di Finlandia, salah satunya tentang hak asuh anak seandainya orang tua bercerai. Hukum Finlandia menetapkan ibu, secara otomatis, mendapatkan hak asuh anak bila usia si anak di bawah 12 tahun. Lewat dari usia tersebut anak dikasih kebebasan memilih untuk ikut ibunya atau bapaknya. Atau kira-kira begitulah bunyi hukumnya berdasarkan terjemahan bebas gue yang bahasa Suominya jongkok ini.
Gue kira aman dong ya….di sini hak ibu untuk mengasuh anaknya dilindungi banget oleh negara. Seandainya perceraian terjadi si ibu gak harus takut kehilangan si anak.
Ternyata waktu itu gue gak mengerti hukum pengasuhan ini secara jelas. Baca-baca dan denger-denger cerita orang ternyata yang dimaksud “ibu mendapat hak asuh” itu lebih cocok diartikan sebagai: ibu mendapat hak sebagai primary caretaker of the child. Primary ya, bukan sole caretaker. Pada umumnya kasus perceraian pengadilan akan memutuskan titah joint custody dengan maksud untuk melindungi hak ayah supaya juga bisa ikut mengasuh anaknya. Sole custody, entah untuk si ibu atau si ayah, cuma diberikan untuk kasus-kasus yang sangat khusus.
Nah, yang jadi masalah nih kalo yang mau cerai itu pasangan kawin campur seperti gue dan Mikko ini. Sedikit statistik dulu, pada umumnya pernikahan beda bangsa di Finlandia ini terjadi antara lelaki Finlandia dan perempuan asing. Jadi kalo ngomongin kawin campur di sini emang umumnya yang kebayang ya wanita-wanita asing, seringnya, dari negara (yang dianggap) eksotis seperti Thailand (jumlah terbesar), Filipina, Mexico, Indonesia (kibas rambut), dan lain-lain.
Tambahan lainnya, pada umumnya orang asing mengalami kesulitan integrasi karena hambatan bahasa. Yaaaah, gue udah bilang ratusan kali ya bahasa sini susahnya amit-amit?. Kalo gak bisa ngomong Suomi tentunya berefek susah cari kerja yang berarti gak punya penghasilan sendiri.
Jadi kebayang gak kalo ada kasus perceraian di pasangan kawin campur wanita-wanita asing ini harus menghadapi masalah seperti: keluar dari rumah yang biasanya jadi hak milik suami (as the main breadwinner yang bayar cicilan KPR atau kotrakannya), kehilangan sumber nafkah dan harus jadi single parent?
Untungnya di sini masalah pengangguran dan family welfare diurus juga oleh negara. Mereka-mereka yang bercerai dengan kondisi di atas bakal dapat berbagai macam bantuan dari badan sosial sini, seperti: dicarikan tempat tinggal baru yang kontrakannya dibayar oleh negara. Dikasih uang saku buat hidup sehari-hari termasuk juga dikasih program pelatihan untuk modal cari kerja, mulai dari kursus bahasa sini bagi mereka yang kemampuannya belum memadai sampai kursus-kursus lainnya yang menyiapkan mereka jadi tenaga profesional.
Tapi tetep yah, masalah hidup gak selalu seputar finansial dan kerjaan. Banyak dari mereka yang bercerai ingin pulang ke negara asal supaya bisa kumpul lagi sama keluarganya, supaya ada yang bantu-bantu urus anak, atau supaya bisa cari kerjaan yang lebih bagus daripada di sini. Nah, di sini masalahnya dimulai….
Biarpun pada umumnya bapak-bapak gak dikasih hak asuh utama, tapi mereka tetap berhak untuk bertemu anaknya. Kalo si ibu pindah ke negara lain sambil membawa anaknya berarti si ayah akan kehilangan haknya tersebut. Karena itu si ibu cuma bisa membawa anaknya keluar dari Finalndia dengan persetujuan si ayah. Di sinilah perseteruan terjadi karena banyak bapak-bapak yang gak ngijinin mantan istrinya pulang lagi ke negara asal sambil membawa anaknya.
Buat si istri kondisi begini tentunya kaya buah simalakama. Mau tetep tinggal di sini tapi hidup kok rasanya berat bener? Mau balik ke negara asal tapi gak boleh bawa anak. Pusing gak lo?
Baca-baca di forum banyak yang depresi karena masalah ini. Ada yang ngerasa Finlandia bagaikan penjara buat doi karena sebenernya dia pengen banget pulang kampung tapi gak bisa karena gak mau pisah dari anaknya. Ada yang membesarkan anaknya di sini sambil kerja di restoran, padahal di negaranya pernah kerja jadi akuntan. Ada yang udah berjuang lima tahun bolak-balik ke pengadilan supaya bisa cabut dari sini tapi sampai sekarang belum juga dapet restu. Sedih-sedih amat lah ceritanya bikin gue merembes mili.
Yang kaya gini nih yang kagak gue pikirin waktu nerima lamaran Mikko.
Bukannya gue kepikiran cerai sama Mikko, sih,…tapi jadi takjub sekaligus deg-degan menyadari kawin campur ternyata punya resiko mengerikan macam ini.
Sebenernya hari ini gue lagi pusing teringat cerita teman-teman di kelas gue. Ada satu yang udah bercerai, satu lagi yang dalam proses, satu lainnya lagi juga kepengen tapi masih ragu-ragu.
Yang gue sebut pertama seorang laki-laki, jadi dari awal proses perceraian dia udah tau kalo hak asuh anak pasti jatuh ke tangan istri. Sekarang ini dia pasrah aja belajar bahasa Suomi bersama remaja-remaja berisik di kelas kami dan bulan depan akan mulai kursus supir taxi yang dianjurkan oleh badan sosial dan labour office sini sebagai jalan karir yang tampaknya paling realistis untuk dia. Padahal di negaranya dia pegang titel marketing manager loh. Tapi perusahaan mana pula di sini yang mau ambil manager yagn cuma bisa bahasa Arab dan bahasa Suomi patah-patah?
Dua lainnya teman gue perempuan dan tampaknya mereka belum tau jelas tentang hukum pengasuhan anak di sini. Saat ini mereka terlihat santai karena yakin hak asuh anak pasti akan mereka dapatkan. Untungnya sih mereka memang gak niat balik ke negara asal. Kalo gak salah mereka datang dari desa kecil di negara asalnya dan merasa hidup di sini lebih enak.
Gue cuma kepikiran aja gimana kalo mereka berubah pikiran jadi pengen pulang kampung dan terus terjadi lah drama-drama rebutan anak di pengadilan? Gak tega bayanginnya.
Salah satu poster di forum yang gue baca menyarankan untuk bikin prenuptial buat siapapun yang mau menjalani kawin campur, apalagi kalo kemudian bakal hidup di negri asing. Prenuptial gak selalu menyangkut harta, hal-hal tentang pengasuhan anak juga bisa dicantumkan di dalamnya. “Seandainya dulu gue punya prenuptial gue gak harus kesepian dan kedinginan begini di Finlandia. Sementara di kampung halaman ada banyak orang yang bisa gue jadikan sandaran” begitu kata si poster.
Gue dan Mikko juga punya prenuptial yang kami buat di Indonesia tapi cuma mengatur soal pemisahan harta supaya nantinya gue bisa beli properti di sana. Prenuptial ini tentunya tidak berlaku di luar Indonesia, dan di sini, di Finlandia, kami gak punya prenuptial karena di sini gue juga punya hak untuk punya properti, yang berarti kami gak bakal kesulitan beli rumah. Soal hak asuh anak dan tetek bengeknya sih dulu itu mana kepikiran.
Well, I have no regret, and hopefully I never will. Tapi gue sarankan masalah prenuptial dan poin-poin tentang hak asuh anak ini dijadikan bahan pemikiran buat siapapun yang berniat menjalani kawin campur, terutama sekali buat yang kemudian akan hijrah ke negri asing setelah pernikahannya.
Btw, ya,…waktu gue bikin prenuptial cukup banyak yang terkaget-kaget. Katanya, baru mau nikah kok udah mikirin cerai? Biarpun gue jelasin gue bikin prenup cuma demi bisa beli properti, tetep banyak yang masih mengerutkan jidatnya. Awas tambah nongnong tu jidat.
Lama-lama gue jadi mikir sendiri. Pada anti banget sih sama kata “prenup”? Lebih lagi sama kata “cerai”? Buat gue perceraian itu harusnya bukan sesuatu yang ditakuti tapi juga bukan untuk dicari-cari. Perceraian bisa jadi juru selamat seandainya pernikahan berjalan tidak mulus, bikin gak hepi, depresi atau malah sengsara. Di lain pihak, dengan mengingat perceraian bisa terjadi harusnya kita juga jadi lebih hati-hati dalam menjalani pernikahan. Jadi lebih mawas diri buat gak bikin salah, meningkatkan toleransi ke pasangan, ingat untuk tetap romantis. Pokonya apapun lah supaya hubungan kita dan pasangan tetap bikin semriwing dingin-dingin empuk. Bukan begitu pemirsa?
