Tanggal 19 Maret kemarin rupanya diperingati sebagai tasa-arvon päivä alias hari kesetaraan gender di Finlandia. Ini gue juga baru tau karena tadi dibahas di kursus bahasa. Anak rajin emang rejekinya ngalir ya, hampir aja tadi gue berniat bolos kalau bukan karena pelototan serem dari suami. Tapi sungguh gak rugi tadi gue masuk kelas karena tema diskusi hari ini adalah tentang kesetaraan. Sebuah tema yang sungguh dekat sekali di hatiku, uwooo….uwoooow…
Minna Canth (1844-1897) adalah seorang penulis perempuan yang karyanya sering dianggap terlalu kontroversial pada jamannya. Minna memang seorang pejuang hak-hak wanita dan dia senang menulis tentang hal-hal yang waktu itu dianggap tabu untuk dibicarakan. Misalnya, tentang kekerasan rumah tangga terhadap wanita. Salah satu karyanya, yang berbentuk drama, berkisah tentang seorang wanita kaya yang menikah dengan pemabuk. Karena menurut hukum pada waktu itu harta kekayaan wanita akan jadi milik suami ketika menikah, si istri kemudian jatuh miskin setelah uangnya dipakai mabuk-mabukan oleh sang suami.
Setelah drama tersebut populer di masyarakat, pemerintah Finlandia mengeluarkan peraturan baru yang mengizinkan pemisahan harta antara istri dan suami. Bisa dibilang Minna Canth ini mirip-mirip dengan Kartini kita, sama-sama berjuang lewat tulisan.
Now, let me tell you a little secret: gue ini sebenarnya a self-proclaimed feminist. Gue bilang ini rahasia kecil karena..errr…aku takut kakaq kalau diajak berdebat soal ini oleh kaum-kaum antifeminisme. Waktu lagi di Indonesia pernah gue menantang ide teman-teman yang beranggapan semua cewek ya pasti mendambakan bisa di rumah, jadi ibu rumah tangga, karena itu kan udah kodratnya perempuan. Ampun deh, hati ini langsung mendidih dengernya…tapi, begitu gue menunjukkan ketidak setujuan gue, eh, malah temen-temen yang ngomongnya jadi berapi-api. Lo feminis ya? Apaan sih feminisme? Gunanya apa sih?
Atuuuuuuuttttt.
Makanya cukup gue bilang kalo gue ini cuma self-proclaimed feminist, cuma ngaku-ngaku doang tapi secara eksyen emang nol besar dan secara pengetahuan pun masih jongkok.
Kebangkitan gue sebagai seorang feminist (ceile) dimulai ketika jadi pengantin baru. Sebagaimana yang banyak gue dengar dari cerita-cerita orang, di masa-masa newly wed keinginan menjadi istri sempurna memang membara di hati ini. Kalo menurut pakem di masyarakat istri sempurna kan yang pinter masak, menjaga rumah selalu kinclong, rajin mencuci dan menyetrika hingga baju suami licin tanpa kerut, tak lupa penampilan selalu paripurna dari melek sampai naik peraduan. Jadilah saat itu gue menawarkan diri buat selalu masak, nyuci, dan beres-beres.
Tiga minggu jadi ibu rumah tangga, gue melihat wastafel kotor oleh bekas-bekas pasta gigi dan cukuran Mikko… dan gue pun menangis tersedu-sedu. ALLAHUAKBAAAAAAR….AKU BENCI MASAK, NYUCI DAN BERES-BERES. Apalagi kalo udah capek ngebabu terus pak suami seenaknya bikin rumah kotor lagi. Kejadian deh hari itu gue nangis sambil banting-banting barang di kamar mandi. Kzl banget mbaknya.
Berikutnya pastilah…jadi berantem sama Mikko. Berantem besar pertama kita sebagai suami istri. Sebenarnya ini bisa dihindari kalo gue ngomong baik-baik sama Mikko. Tapi gimana dong, cyiiin…waktu itu akika udah gondok banget hatinya, udah mau muntah jadi IRT ideal yang ternyata gak seindah bayangan gue, jadinya ngomong ke Mikko kudu sambil nangis dan teriak-teriak.
Abis kejadian ini gue jadi berpikir, kasian amat sih jadi perempuan, begitu menikah bebannya jadi berat banget,diharapkan ngurusin suami, rumah, belon lagi harus ngurus diri sendiri juga. Sebenernya gak ada tuntutan seperti ini dari Mikko, tapi kaaaaan…di dalam kepala gue ada tuntutan dan norma-norma masyarakat tentang bagaimana seorang istri harus berperilaku. Termasuk didalamnya tugas wajib seorang istri sebagai homemaker. Iya kalo suka, lha, kalo kaya gue yang ternyata benci banget sama urusan tetek bengek rumah gimana? Gak punya bedinde lagi. Mati kutu kan gue.
Begitu punya anak dan jadi ibu perasaan gue bahwa dunia ini tidak adil terhadap wanita semakin menjadi-jadi. Awal jadi ibu baru, gue kembali kemakan sama bayangan tentang ibu ideal. Padahal anaknya rewel, nangisnya gak brenti-brenti, nyusunya apalagi. Setiap kali Kai bangun tengah malam gue bilang ke suami “Gak, papa…tidur aja lagi. Biar aku yang urus Kai” Iya doooong. Aku kan istri dan ibu yang ideal. Biarpun ngantuk setengah mati gue gendong Kai sambil (berusaha) tersenyum penuh tatapan cinta. Tiga bulan jadi ibu baru akoh teler beuraaat. GAK BISA TIDHUUUR. Sementara Mikko kupingnya jadi kebal, Kai nangis meraung-raung ngoroknya maju terus pantang mundur. Pagi hari Mikko bangun dengan ceria sambil berkata “Waaah…enak sekali tadi malam. Kai tidurnya nyenyak, ya?” MENURUT LOOOOOOO?
Setelah konsolidasi dan koordinasi yang lebih baik, Mikko bisa juga jadi suami dan ayah yang lebih ideal. Gue bilang ke doi kalo gue gak sanggup ngurus anak dan ngurus rumah sendirian. Mau dong dibantuin. Ya pasti, curhatnya sambil bertangis-tangisan. Setahun jadi ibu baru kerjaan gue emang nangis melulu.
Tapi masa setahun kelahiran Kai itu memang masa-masa tersulit buat gue. Kai bukan termasuk bayi yang mudah. Ketergantungannya sama nenen äiti sungguh berlebihan, bikin gue gak bisa tidur, gak bisa punya me-time, dllnya. Gak heran kalo gue kurus kering dan depresi waktu itu. Yang bikin gue tambah sedih, kalau gue cerita ke teman-teman sesama ibu, kayanya kok gak ada yang simpati sama gue. Rata-rata bilang “Jadi ibu ya memang begitu”. Kok sedih amat sih kalo seorang ibu memang diharapkan untuk menderita? Ke bapaknya kok gak gitu? Dan teman-teman akan tertawa “Hahahahaha….ya beda laaaaaah. Mereka kan laki-laki”
Gue sungguh gak bisa nerima. Biarpun laki-laki tapi kan statusnya sama. Sama-sama orang tua si anak. Kenapa ibunya doang yang dituntut buat susah? Bapaknya juga dong. Tapi dalam hati aja ngomong begini. Males berdebat. Aku kan penakut.
Tapi kalo sama Mikko mah beda. Suatu hari gue bilang ke Mikko gue udah capek banget sama keadaan Kai yang nempel terus ke gue. Gue rindu hura-hura, jalan gak bawa bayi, keluar sampe malem. Bermaksud ingin menghibur Mikko berucap “Jadi ibu ya memang begitu”. Saya pun naik pitam ladies en gentlemen sekalian. NGUAMUK! Secara kan, ya, gue iri banget sama Mikko yang punya kehidupan di luar rumah, pulang kantor kadang main bola dulu sama temen, trus sering bistrip ke luar negri. Mana perkataan “Jadi bapak ya emang gitu” buat doi? Huhuhuhuhuhu…gue nangis lagi deh.
Sebenernya bukan di Mikko masalahnya. Tapi tuntutan masyarakat yang berlebihan buat perempuan dan seorang ibu yang bikin gue gak tahan. Seperti misalnya kalau mudik ke Indonesia. Tiap kali gue pulang malem buat hang-out, orang rumah bakal krang-kring-krang-kring “Anaknya kok ditinggal? Kapan pulang”. Gue bilang mau ke Bali sama temen-temen pertanyaannya “Anak-anak siapa yang jaga?” padahal kan ada bapaknya, halooooo. Bandingkan sama MIkko yang berkelana ke Flores dua minggu, gak ada tuh yang nanya “Anak siapa yang ngurusin?”
Buat gue peran ibu yang tidak tergantikan itu adalah hamil, melahirkan dan menyusui. Tugas-tugas lainnya seputar pengasuhan anak harus ditanggung berdua antara ayah dan ibu. Jangan dibebankan ke ibu aja. Pasti banyak kan yang setuju sama gue? Tapi toh di masyarakat belum sepenuhnya begitu keadaannya.
Gue sampe pernah bilang ke Mikko bahwa seorang ayah yang turut berperan aktif dalam pengasuhan anak seharusnya gak patut dapat pujian, karena itu memang hal yang sudah sewajarnya terjadi, bukan sesuatu yang luar biasa. Walaupun yaaaa, gue sebenernya bangga sekali melihat kedekatan Mikko dan anak-anak, Mikko yang sering melepas gue travel berhari-hari bareng temen sementara dia cuti buat ngurus anak, Mikko yang dari awal udah jagoan mandiin bayi dan ganti popok. Tapiiii… di dunia ideal, seharusnya hal-hal seperti ini adalah kejadian umum, bukan pengecualian yang dianggap istimewa. Gak ada deh tuh kayanya pujian buat ibu-ibu yang jago ganti popok dan masak sambil gendong anak.
Pernah juga dengar cerita teman-teman yang suaminya jadi bapak rumah tangga, alias jadi SAHD. Awalnya sih takjub, tapi terus gue bertanya ke mereka “Kalo yang masak sama beberes rumah siapa? Bapaknya juga?”. Si teman pun menjawab “Ya gak laaaaaah, itu mah tetep gue juga yang ngerjain. Pulang kantor gue nginem dulu nyiapan makanan buat mereka. Doi mau di rumah aja gue udah bersyukur banget”
Di situ kadang saya merasa sedih.
Kalo ibu yang di rumah jaga anak, suami gak diharapkan tuh buat masak dan beberes setelah pulang kerja. Malah yang saat ini dianggap ideal adalah suami pulang sementara makanan sudah siap terhidang. Tapi SAHD yang kagak masak dan beberes rumah itu elu-elunya rame sekali loh. Termasuk gue juga kok yang ikut bersorak gembira. Tapi hati kecil ini masih kurang puas. Ibu rumah tangga yang ngurus anak, ngurus rumah, dan nyiapin makanan kok dianggap biasa aja? Gak dapet sorak sorai bergembira?
Apa kemudian gue memandang status ibu rumah tangga itu rendah? Gak begitu dong, ah. TAPI gue juga gak akan bilang status IRT itu mulia dan kata-kata pelangi lainnya. Buat gue mau IRT, mau kerja, mau ART (ayah rumah tangga) atau apa pun asal halal mah mulia. Jangan memulia-muliakan yang satu seakan-akan yang lain kurang bergengsi. Di dunia yang ideal, semua status itu setara. Gak perlu saling bersaing mana yang lebih baik, mana yang lebih mulia.
Dan jelas ya, gue gak setuju banget sama orang-orang yang bilang bahwa kodratnya wanita itu di rumah. Termasuk gue suka keki sama ustadz dan ustadzah yang isi ceramahnya mengajak wanita hidup lagi ke jaman batu: jadi mahluk rumahan yang diciptakan untuk ngurus anak, suami dan rumah tangga. Gue pilih-pilih ceramah macam apa yang gue dengar, gak semua yang bergelar ustadz lantas gue anggap bener omongannya biarpun dihias ayat-ayat suci. Sombong amat ya akika? Ilmu agama cetek tapi sok taunya selangit. Maafkeun.
Tapi gue mau cerita sedikit tentang bapak penghulu waktu kami menikah dulu. Alkisah, sebelum nikah, gue dan Mikko harus menghadap pak penghulu untuk urusan convertion, sekalian hari itu pak penghulu memutuskan untuk kasih sedikit ceramah pra nikah buat kami. Terus terang, isi ceramahnya membosankan. Si bapak banyak melucu tapi gak lucu, banyak selipan guyon tempat tidur tapi jatohnya krik krik, gue pun mendengarkan beliau sambil terkantuk-kantuk.
Tiba-tiba si bapak memandang gue
“Begini ya, Rika. Kita di sini ada istilah 3R. SumuR, dapuR, kasuR. SumuR itu berarti mengurus cucian, dapuR artinya urusan memasak dan menyiapkan makanan, kasuR,…ya,..artinya urusan suami dan istri di tempat tidur. Dari 3R tersebut mana yang menurut Rika diwajibkan kepada seorang istri?”
“Tiga-tiganya, pak” gue nyaut sambil males-malesan
“Kalo menurut saya, yah” pak penghulu membalas “kewajiban istri itu cuma yang kasuR. Dua lainnya bukan kewajiban karena di Al Quran gak ada disebutkan seorang istri wajib mencuci dan memasak untuk suaminya. Malah dua R ini bisa diwakilkan, misalnya, ke pembantu rumah tangga. Kalo gak ada pembantu, jadikanlah dua R ini sebagai ladang untuk mendapat kebajikan. Misalnya, Mikko yang mencuci pakaian, itu kebajikan buat Mikko. Rika yang memasak, itu kebajikan, tapi bukan kewajiban. Karena dari itu, berlomba-lombalah kalian dalam meraih kebajikan. Jangan, misalnya, Mikko pulang kerja terus marah-marah karena Rika belum menyiapkan makan malam. Gak ada dalam Islam suami menuntut istri buat melayaninya makan. Memangnya gak bisa sendiri? Tapi kalo urusan kasuR kan bedaaaaa. Itu mutlak kewajiban istri. Memangnya mau diwakilkan?”
TUWEWEEEENG, seketika ngantuk gue hilang dan seketika gue jadi jatuh cinta sama pak penghulu. Lafff sekali ceramah mu ini, pak. *buang sapu dan penggorengan*
Jadi hati gue panas kalau melihat meme seperti ini:
![wpid-2015-03-24-12.04.10.png.png]()
Tulisannya sih indah, mengesankan suami dan istri saling menjaga satu sama lain tapiii,…digabung dengan gambarnya,…kesannya tugas-tugas di atas itu milik istri pribadi, dan harus dilakukan dengan riang gembira pula. Lha iya kalo suka, kalo yang nyetrikanya gosong terus kaya saya gimana?
Belon lagi kalo ngomongin ceramah-ceramah yang suka mengulik rasa bersalah ibu bekerja…iiiih, aku tak suka. Anti amat sih ama ibu bekerja? Emang salah mereka apaaaa? Kalau ada ibu yang bekerja yang kemudian mengabaikan anaknya, salahkan si ibu pribadi dong, jangan seluruh ibu bekerja dianggap hina dong, gak sesuai kodrat.
Apa lantas, menurut gue, semua ibu harus bekerja? Ya kagak juga, malih. Mau kerja boleh, mau di rumah jadi IRT, SAHM, WFHM, atau apa pun itu mah boleh-boleh aja. Apapun pilihannya gak ada yang salah, asalkan memang pilihan sendiri, bukan tuntutan orang lain. Intinya feminisme kan itu, bahwa wanita juga punya hak untuk memilih hidupnya. Bukan sekedar mengikuti tuntutan orang lain, masyarakat, dogma ataupun norma-norma tertentu.
Ada satu ahli (ulama? ustadz? entahlah apa sebutan dia, gue gak paham-paham banget) yang sedang dianggap kontroversial saat ini. Beliau ini dianggap penyebar Islam liberal jadi mau nyebut namanya aja bikin akyu takut diuber FPI. Mengintip sekilas kicauannya di twitter, gue kagum akan pemikirannya yang memang penuh dobrakan, pantes aja dianggep liberal. Mungkin beliau ini semacam Minna Canth dan Kartini versi jaman noceng walaupun beliau laki-laki. Satu kicauan doi yang langsung menancap di hati gue bunyinya kira-kira begini, ingat ya, ini tidak seratus persen ucapan dia karena twit tersebut gue liat dua tahun lalu, tapi ini yang terekam di ingatan gue:
“Perempuan tidak harus selalu percaya apa yang diungkapkan ulama laki-laki tentang dirinya atau tentang bagaimana dia harus hidup, karena perempuan juga bisa berpikir sendiri”
Gue ulangi:
“…karena perempuan juga bisa berpikir sendiri”
Gue hampir nangis loh bacanya. Terharu. Ucapan beliau itu bikin gue merasa derajat gue, sebagai perempuan, dinaikkan. Kami perempuan, kami punya otak dan bisa berpikir sendiri tentang apa yang baik untuk kami.
Oh ya, pendapat Mikko bagaimana? Dapet istri yang self-proclaimed feminist itni? Oh, dia bangga sekali. Akan lebih bangga kalau self-proclaimed nya dihilangkan dan gue bisa jadi feminist beneran.
Tapi sebenernya, sih,…ada yang bilang istilah feminisme udah ketinggalan jaman. So last year banget, darling. Sekarang ini lebih keren kalau kita pakai kata equalisme, karena ini kan memang pembicaraan tentang kesetaraan gender, yang berarti melibatkan baik pria maupun wanita. Ini memang bukan sekedar tentang hidup wanita, tapi juga tentang kehidupan pria dan seluruh masyarakat pada umumnya.
Di Finlandia ini pun sedang ada gerakan equalisme yang dilakoni oleh banyak pria. Misalnya pengajuan izin cuti yang lebih banyak untuk bapak baru, karena kata siapa bapak-bapak gak mau tinggal di rumah lebih lama untuk mengurus bayinya?
Ada juga protes-protes para pria tentang keputusan pengadilan tentang pengasuhan anak pasca perceraian yang dianggap terlalu memihak kepada wanita. Di Finlandia, ibu, secara otomatis, mendapat hak asuh penuh pasca perceraian jika anak berusia di bawah 12 tahun. Bapak-bapak cuma dapat hak kunjungan, atau, harus naik banding di pengadilan jika ingin mendapatkan hak asuh sebagian.
Dengan mengatakan ibu adalah yang terbaik untuk anak berarti kita mendiskreditkan peran ayah dalam pengasuhan. Padahal kan katanya kepingin ayah-ayah untuk lebih turun tangan ngurus anak, jangan dong kemudian meninggi-ninggikan status ibu sedemikan rupa seakan-akan ayah cuma jadi bekgron.
Lebih lanjut tentang equalisme, harus pada baca dong ya kampanye HeforShe-nya Emma Watson? Makin cinta gak sih sama Hermione?
Dan seperti yang diungkapkan Emma Watson, perlu diingat bahwa feminisme bukan berarti man-hating. Feminisme bukan female domination. Dan ngomongin feminisme, aka equalisme, bukan sekedar ngomongin urusan ibu di rumah, ayah pergi ke kantor. Ada banyak isu lainnya yang juga sangat krusial seperti: akses menuju pendidikan yang masih tidak seimbang antara anak laki-laki dan perempuan, pendapatan yang lebih rendah untuk pekerjaan yang sama atas dasar gender, kekerasan baik di luar atau pun di dalam rumah tangga, dll.
So here’s to equality, both for women and men, for a better life of all people.
Dalam rangka menyambut hari kesetaraan ini, YLE, situs berita Finlandia, menampilkan artikel yang pasti bikin hati kita, ebo-ebo dan bapak-bapak sekalian, jadi hangat. Beritanya singkat aja kok, gue coba bikin terjemahan bebasnya di bawah ini ya:
Letittävä isä nousi nettihitiksi – tukkataito tiivistää tytärsuhdetta
(Ayah ahli mengepang rambut menjadi terkenal di dunia maya – keterampilan mengepang mempererat hubungan dengan anak perempuan)
Keterampilan seorang ayah dalam mengepang rambut anak perempuannya mungkin bukan barang langka, tapi jarang ada yang memamerkan atau mengiklankannya. Matti Airola, yang berasal dari Rauma, mengunduh foto hasil kepangan rambutnya ke sosial media dan sontak menjadi popular. Matti juga mendorong pria lain untuk melakukan hal yang sama – belajar mengepang rambut.
Mati memang mendapat banyak sekali publisitas positif belakangan ini. Semuanya berawal ketika, pada satu hari, ia memutuskan untuk belajar mengepang rambut dua anak perempuanya.
– Maisa sering sekali bertanya apakah kami dapat mengundang temannya Johanna untuk datang kemari dan bermain kepang-kepangan rambut. Agak mengesalkan bahwa saya harus berulang kali menjelaskan bahwa Johhanna tidak bisa setiap hari datang ke rumah.
Di situ lah Matti menetapkan bahwa mengepang rambut harusnya tidak sulit
– Seharusnya saya juga bisa.
Menurut Matti kemudian, kegiatan mengepang rambut ternyata sangat sulit tapi latihan secara terus menerus membuatnya semakin trampil. Dia berselancar di youtube dan menonton banyak sekali video untuk mempelajari rahasia di balik jenis-jenis kepangan yang terlihat rumit. Sekarang Matti telah menguasai beberapa jurus kepangan yang termasuk sulit.
– Misalnya saja gaya kepangan Belanda dan Perancis biasanya terdiri dari tiga bagian tapi bisa juga dikerjakan dengan menggunakan 5, 7, 9 atau bahkan 13 bagian rambut. Saat ini saya sudah bisa mengerjakan cukup banyak variasi kepangan tapi masih banyak variasi lain yang bisa dipelajari. Jumlahnya tidak terbatas.
Memberi inspirasi untuk para ayah
Pada awalnya Matti belajar mengepang rambut hanya untuk menyenangkan kedua anak perempuannya, Maisa dan Kerttu tapi hobi tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah kesadaran tentang hubungan antara ayah dan anak.
– Anak-anak ingin melihat kepangan rambut mereka makanya saya foto hasil kerja saya supaya mereka bisa melihatnya. Foto-foto tersebut saya upload juga ke instagram yang kemudian ternyata menyebar luas.
Matti Airola juga mengajak para ayah untuk tertarik terjun ke dunia perkepangan rambut, menurut pengalamannya, efek yang ada cuma efek positif.
– Jika kita, sebagai seorang lelaki, bisa mengepang rambut, respon yang kita dapat selalu menyenangkan.Dan yang paling penting, hobi ini membawa pengaruh baik terhadap hubungan ayah dengan anaknya. Ketika saya mengepang rambut anak saya di malam hari, keberadaan saya di rumah jadi terasa lebih bermakna. Kalau bukan karena ini mungkin saya cuma berbaring di sofa sambil internetan dari telefon.
![]()
![wpid-11018499_789253664501503_216157361_n.jpg]()
![wpid-10843754_1608848262679815_284712264_n.jpg]()
![wpid-10853149_1393179400995314_1478539366_n.jpg]()
![wpid-10852702_396418773866837_1701758371_n.jpg]()
Aaaaaww….sukiyaki banget gak sih sama Matti?
Foto-foto kepang rambut lainnya bisa dilihat di akun instagram Matti Airola: https://instagram.com/isijatytot/, captionnya dalam bahasa Inggris kok.
Matti juga sering mengupload video, menulis tutorial kepang rambut di berapa media online dan juga membuka kelas mengepang rambut untuk para ayah di Rauma. Matti dan Maisa juga muncul di acara aamutv di YLE tanggal 19 Maret kemarin.
Selain Matti, YLE juga mengundang seorang perempuan yang punya hobi ngebengkel mobil dalam acara yang sama. Ceritanya ingin menampilkan dua tokoh, lelaki dan perempuan, dengan hobi mereka yang bisa dianggap cross-gender. Tapi kayanya mbak bengkel tersebut kalah pamor sama Matti dan keahlian kepang rambutnya ini.
Di akhir tulisan gue cuma mau kasih pesen buat suamiku: AKOH MAU PUNYA ANAK PEREMPUAAAAAAAAAAAN