Beberapa hari lalu bu guru mengatur posisi duduk murid-murid di kelas dan gue kebagian duduk di sebelah anak baru. Sebut saja namanya Steven (emang nama sebenernya *lhaaa?*), remaja 17 tahunan dari Estonia.
Steven ini sebenernya murid kelas 1 tapi karena kemampuan bahasanya berkembang sangat cepat maka dia dinaikkan ke kelas dua.
Selain bahasa Suominya yang udah lumayan was wes wos Steven ini pun lancar berbahasa Inggris jadi gue bisa ngobrol-ngobrol sedikit sama dia. Udah berapa lama di Finlandia? 8 bulan, katanya. Wuaaaaah…hebat banget sih. Gue udah tiga tahun di sini tapi kalo ngomong yang keluar masih blukutuk blukutuk. Kok elu yang baru 8 bulan udah bisa lancar begini ngomongnya?
“Yah, itu kan karena gue rajin belajar” jawab si Steven. Asli gue kagum sama jawabannya. Beda banget sikapnya dari remaja lainnya di kelas yang terlihat males-malesan, nyuekin guru yang lagi ngajar, selalu mainan telepon dan sering banget bolos. “Gimana bisa belajar bahasa Suomi kalo bolos terus.” lanjut si Steven lagi. Ckckckckck, gue makin berdecak kagum denger komennya Steven.
“Trus abis sekolah ini mau lanjut kemana?”
“Mau lanjut ke ammattikoulu”
“Gak mau ke lukio aja? Abis itu lanjut ke universitas” gue memberi usul. Udah terbayang anak sepintar Steven ini berprestasi di kampus dan setelah lulus berjaya sebagai ilmuwan, banker, konsultan, CEO atau apalah…
“Gak deh….lukio bagus sih…tapi kayanya bukan bue gue. Gue mau jadi…hmm..apa itu namanya…TUKANG CUKUR RAMBUT. Yah, itu dia…gue suka liat orang-orang yang kerja nyukurin rambut orang lain. Lebih cocok kan ke ammattikoulu buat yang mau jadi tukang cukur?”
Melongooooooooo dengernya.
Bayangan steven pake dasi, atau jas dokter, atau memegang alat-alat lab langsung runtuh.
Yang bener aje loooooooooooo?
Seharian gue kepikiran terus sama obrolan di atas. Udah kebayang kalo gue cerita ke suami pasti komentarnya “Terus kenapa? Apa salahnya jadi tukang cukur rambut?”
Pernah baca dimana gituuuuu, katanya warga Skandinavia mungkin salah satu warga yang beruntung karena kebanyakan orang bisa mewujudkan “dream professionnya” tanpa mikirin gengsi dan tentunya karena banyaknya professional school (ammattikoulu) yang tersebar dimana-mana.
Kalo dipikir-pikir lagi,…bener juga sih…
Toh, di sini mau kerja apapun pendapatannya terjamin. Alias, mau jadi apapun insya Allah gak akan hidup melarat. Dan seperti yang si suami selalu bilang “Yang penting kan seneng sama profesinya”
Naaah….itu dia yaaah….
Mau gaji satu milyar kalo gak suka sama yang dikerjain pasti berat juga jalaninnya.
Tapi hidup secukupnya, gak usah bermewah-mewah, asalkan hati senang pastinya jauh lebih menyenangkan.
Dan kata siapa tukang cukur rambut gak bisa jadi miliader? Liat tuh Johnny Andrean atau Peter Sareang. Kali-kali yaaaa…nasib Steven nantinya bakal seperti mereka juga.
Pada akhirnya gue bisa berdamai dengan apapun pilihan Steven nantinya. Walaupun tetep siiihh…tiap kali ngeliat dia di kelas, selalu jadi yang paling pinter, yang paling cepat mengerjakan semua tugas…gue penasaran juga “Yakin gak mau kuliah, Pen?”
Yang masih jadi pertanyaan saat ini…apa gue siap kalo suatu hari Kai atau Sami ngomong hal yang sama
“Mau jadi tukang cukur, äiti”
atau kerja di bengkel, jadi supir bis, supir metro, peternak domba, dan lain-lainnya.
Biarpun bukan tiger mother tapi gue tetep kepengen yah anak gue insya Allah berprestasi di sekolah, lanjut ke universitas dan kerja jadi dokter, pengacara, banker, arsitek dan lain-lainnya yang konvensional gitu lah. Beda sama Mikko yang lebih terbuka buat segala macam pilihan. Kalo anak gak mau kuliah yah gak papa. Gak semua orang harus kuliah kan, katanya (yang bikin gue hampir pingsan dengernya). Gak usah berharap anak jadi sukses, tajir, dan lain-lainya. Berharap aja anak kita selalu bahagia.
Selalu, prisip suamiku yang warga Finlandia ini.
Tapi masih susah diterima sama istrinya yang dari Indonesia.
